Pendidikan Akhlak itu lebih penting daripada pendidikan moral atau karakter
Tak penting pintar matematika. Yang penting berpendidikan akhlak. Benarkah? Apakah di ciracap sukabumi sulit mendapatkan pendidikan akhlak sekaligus berprestasi matematika? Pendidikan matematika akhlak cabang ciracap sukabumi segera hadir memberikan jawabannya!
Assalamualaikum wrwb
Bapak/ibu yang budiman,
Berikut adalah uraian singkat mengapa pendidikan Akhlak itu lebih penting daripada pendidikan moral atau karakter. Pahami dengan baik. Islam memiliki kurikulum pendidikan akhlak terlengkap di dunia yang disebut Al Quran. Mengapa kita harus membuat kurikulum yang lain?
Bapak/ibu, jika Anda berdomisili di Ciracap Sukabumi, dalam waktu dekat pendidikan Matematika Akhlak segera hadir di wilayah bapak/ibu tinggal. Jadi, pelajari terlebih dahulu Mysikat Akhlak ini sebelum kami hadir di Ciracap Sukabumi.
Bapak/ibu yang dirahmati Allah SWT,
“Its better to be moralist rather than religious.“ (Lebih baik moralis daripada religius). Ini adalah “curhat” dari mereka yang benci agama. Di Barat, berbuat baik karena agama bisa dicurigai. Sebab, selama puluhan tahun masyarakat Barat menyaksikan konflik horizontal gara-gara agama. Agama lalu dituding menjadi sumber fundamentalisme dan kekerasan. Celakanya, agama lain pun, termasuk Islam dianggap sama.
Karena kebaikan tidak lagi bersumber dari agama, kebaikan nonreligius menjadi menonjol. Dan, kini kita tidak sadar, istilah-istilah keagamaan berikut konsep dasarnya digeser. Salah satunya adalah makna akhlak. Yang sekuler berupaya menyekulerkan maknanya. Maka ber-akhlak itu sama dengan bermoral. Yang liberal dan humanis berusaha menghapus konsepnya.
Bagi mereka, “Muslim tidak perlu berakhlak, berbuat baik pada sesama itu lebih mulia.“ Di sini akhlak karena bersumber dari agama diganti dengan moral, atau bahkan akan dihapuskan sama sekali. Bisakah akhlak disamakan atau diganti dengan moral?
Kita lihat berikut ini. Akhlak adalah kata jama dari kata khulq. Akar katanya serumpun dengan khalaqa (menciptakan). Artinya adalah sifat jiwa yang melekat (malakah) dalam diri seseorang sesuai dengan asal mula diciptakannya (ahsanu taqwim). Alasannya jelas, jiwa manusia itu diciptakan Allah dengan fitrah-Nya (fitratallah alliti fatarannas alaiha).
Maka itu, berakhlak adalah berpikir, berkehendak, dan berperilaku sesuai dengan fitrahnya (nurani).
Lalu, mengapa manusia melawan fitrahnya? Karena kerja orang tua. Orang tua menanam benih kejahatan pada anaknya. Jika ia tanam benih kebaikan, sempurnakan fitrah anaknya. Hadis Nabi jelas, orang tua berkuasa membuat anaknya Muslim atau kafir. Agar fitrah manusia itu sempurna, Allah menurunkan fitrah yang lain, yaitu Al-Qur’an. Ibn Taymiyyah menyebutnya fitrah munazzalah.
Dengan Al-Qur’an, fitrah manusia akan berkembang sempurna.
Fitrah manusia yang berkembang mengikuti Al-Qur’an adalah Nabi Muhammad. Karena itulah, pribadinya menjadi teladan umatnya. Jiwanya memancarkan cahaya. Perilakunya menjadi hukum dan tata etika. Napasnya adalah zikir yang berirama. Kalamnya meluncur penuh hikmah bijaksana. Itulah makna kesimpulan Aisyah, akhlak Nabi adalah Al-Qur’an (khuluquhu alQuran). Sebab, jiwa Nabi tidak saja sesuai, tapi tenggelam dalam samudera kebaikan dan kesempurnaan Alquran.
Bagaimana Al-Qur’an bisa menjadi akhlak, bisa dijelaskan. Fakhruddin al-Razi, misalnya, menulis buku Kitab al-Nafs wa alRuh, Fi `ilm al-Akhlaq. Di dalamnya, terdapat 32 pasal tentang akhlak dan penyembuhan penyakitnya. Jiwa manusia (nafs), misalnya, terbagi menjadi tiga tingkatan. Yang pertama adalah mereka yang tenggelam dengan Nur Ilahi disebut al-Muqarrabun.
Kedua, mereka yang berorientasi ke langit dan terkadang ke bumi untuk urusan dunianya yang dinamakan al-Muqtasidun atau golongan kanan (ashab al-yamin). Terakhir, dan terendah adalah yang tenggelam dalam cengkeraman hawa nafsu dan kenikmatan jasmani, disebut al-Zalimun atau golongan kiri (ashab al-syimal).
Ilmu untuk mencapai yang pertama adalah olah batin (riyadah ruhaniyah). Ilmu untuk mencapai yang kedua adalah ilmu akhlak. Makna akhlak dilacak dari sumber perilaku manusia yang berupa aql, ruh, nafs, qalb, dan cara kerjanya.
Di sinilah Islamic Science Mathematics Institute (ISMI) harus berjuang. Meski tampak sulit dan rumit, namun dengan langkah nyata (walau kecil), ISMI patut ditiru. Menggabungkan ilmu semacam matematika yang bersumber pada Quran sekaligus mengajarkan akhlak, sungguh pekerjaan yang berat! Berbeda dari akhlak, istilah “moral“ dalam Oxford English Dictionary dan kamus-kamus lain, diartikan sebagai perilaku baik-buruk manusia. Prinsip-prinsipnya disebut etika atau filsafat moral.
Jika bapak/ibu ingin mengetahui bagaimana ISMI mengajarkan Matematika Akhlak pada generasi muda Islam sebagai Generasi Ulul Albab (New Windows)
Ketika moral menjadi semangat atau sikap masyarakat ia disebut “ethos“. Itu semua, termasuk baik buruk yang pastinya bersumber dari kesepakatan manusia (human convention). Bahkan, apa yang disebut “hukum moral“ atau dharma dalam agama Hindu juga berasal dari kebiasaan sosial. Maknanya moral dan etika menjadi longgar. Jadi, bermoral artinya berperilaku sesuai dengan aturan masyarakat, yang tidak selalu bersifat Ilahi dan religius.
Orang berakhlak dalam arti yang benar pasti bermoral, tapi tidak semua yang bermoral itu berakhlak. Pemimpin yang tidak zalim, pembela kaum lemah, dan tidak korup bisa dianggap bermoral Tapi, ia tidak berakhlak jika ia seorang lesbi/homo, pezina, korup, “peminum“, ataupun penjudi. Saudagar kaya raya yang dermawan, zakatnya miliaran, pekerjanya ribuan, peran sosialnya lumayan, bisa dianggap bermoral tinggi. Tapi, jika ia adalah pengusaha narkoba atau prostitusi, atau rentenir, ia tidak berakhlak.
Kini, akhlak juga diganti dengan istilah “karakter“ (Yunani: kharakter). Character diartikan sebagai ciri yang membedakan seseorang karena kekuatan moral atau reputasi. Tapi, karakter juga dimaknai sebagai sifat yang dimainkan seorang aktor dalam sebuah sandiwara, drama, atau lakon. Berkarakter baik bisa diartikan sebagai ber-“peran“ baik. Ia bukan sifat yang melekat erat dalam identitas diri. Bukan dorongan jiwa melainkan dorongan masyarakat. Mungkin tampak sangat manusiawi, tapi tidak yang mesti berdimensi Ilahi.
Maka itu, berkarakter juga tidak mesti berakhlak. Dimasa lalu, misalnya, terdapat seorang gubernur yang dianggap berkarakter tinggi. Ia tegas, berdisiplin tinggi, konsisten, berwibawa, dan berwawasan luas. Tapi, ia membolehkan perjudian dan pelacuran menjadi sumber APBD. Siapa pun yang menentangnya akan dicemooh. Ia berkarakter, tapi tidak berakhlak. Begitulah Muslim bisa bermoral dan berkarakter, tapi tidak mesti berakhlak.
Namun, jika makna berakhlak hanya dibatasi secara sempit, ia akan sesempit makna moral. Berakhlak yang sempit hanya berpedoman halal-haram atau wajib-sunah. Hubungannya dengan Tuhan tidak disempurnakan dengan hubungan antarmanusia (muamalah maannas). Ibadahnya sempurna, pakaiannya sederhana, lidahnya fasih melantunkan ayat-ayat-Nya. Tapi, tindakan dan ucapannya menyakiti sesamanya atau orang-orang di bawahnya. Inilah makna berakhlak yang salah. Maka itu, jangan heran jika ada tokoh agama yang terjerumus skandal takhta, harta, dan wanita.
Sebaliknya, bagi Muslim sekuler-liberal-humanis, standar halal-haram, wajib-sunah ditinggalkan. Standar baik-buruk hanya dari kesepakatan manusia. akibatnya, meniru akhlak Nabi pun menjadi aneh kalau tidak utopis. Berjanggut seperti Nabi kini dianggap seperti berpedang atau bersenjata.
Menolak ajakan korupsi dianggap “sok suci”. Berdemo sambil bertakbir sama dengan “ngajak” perang. Menghukumi kesesatan dan kemaksiatan dianggap fundamentalis, teroris, dan anti-HAM. Berdakwah tidak boleh menggurui dan sebagainya. Begitulah, karena sekularisme, liberalisme, dan humanisme, beragama menjadi tidak mudah, apalagi berakhlak. Padahal, Francis Fukuyama mengingatkan, ketahanan suatu bangsa bergantung pada keberagamaan masyarakat dan etikanya.
Dengan etika, katanya, ekonomi dan politik akan berfungsi dengan baik. Mungkin maksudnya akhlak. Jauh sebelum itu, ulama arif bijaksana juga telah mengingatkan, “bangsa-bangsa akan kekal jika masih berakhlak. Jika hilang akhlaknya, hilang pula bangsa itu.”
Al-Qur’an lebih tegas lagi, jika suatu bangsa itu bertakwa, akan diturunkan berkah dari langit, dan jika tidak lagi berakhlak, pasti dihancurkan oleh Allah. Jadi, jika pemimpin bangsa ini beserta anak mudanya, anggota DPR-nya, hakim-hakimnya, dan cendekiawan Muslimnya telah kehilangan moral dan bahkan akhlak mereka, sesungguhnya bangsa ini sedang dihancurkan Allah.
Ebook Matematika Akhlak: Keajaiban Bahasa Bilangan untuk Mendidik Akhlak Mulia karya IR Bekti Hermawan Handojo ini patut diberikan apresiasi. Ebook ini berusaha memperkenalkan metode pendidikan akhlak dengan menggunakan pendekatan matematika agar anak-anak atau pelajar TIDAK BOSAN dalam mempelajari akhlak.
Selain itu, ebook Matematika Akhlak ini, di sisi yang berbeda, berusaha menjadikan matematika dasar (khususnya SD dan SMP) sebagai mata pelajaran yang menarik karena disajikan dengan kisah-kisah. Seperti tertulis dalam Al Quran:
“Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir” (QS. Al A’raf: 176)
Pengalaman kami, jika pelajaran Matematika disampaikan dengan berkisah, maka anak-anak kita menjadi mudah berfikir dan membebaskan belenggu kebosanan pada Matematika. Otak mereka serasa FRESH sepanjang mata pelajaran itu disampaikan. Bapak/ibu perlu mempeljarinya, bagaimana mengajarkan Matematika Dasar menggunakan kisah-kisah Islami. Pasti seru dan menarik.
Semoga dengan pemahaman perbedaan akhlak dan karakter ini, para pendidik di Islamic Science Mathematics Institute (ISMI) dapat mengembangkan lebih baik kurikulum dan KBM-nya. Langkah nyata ini sudah dimulai ISMI Malang, kapan lembaga lain atau Anda yang bertempat tinggal di Ciracap Sukabumi menyusul?
Ebook ISMI (tulisan IR Bekti Hermawan Handojo) kini sudah bisa dimiliki sebagai bahan ajar dan pustaka pembelajaran matematika Dasar anak-anak kita menggunakan pendekatan kisah-kisah Islami. Binalah anak-anak kita sebagai Generasi Ulul Albab agar mereka tidak malas berpikir Islami.
Wassallamualaikum wrwb.
Siti Nurhasanah
Senior Observer ISMI, Malang